Kamis, 25 September 2008

Adil Membagi Waktu

"Sebaik-baik manusia adalah yang diberi umur panjang dan baik amalnya. Dan sejelek-jelek manusia adalah yang diberi umur panjang dan jelek amalnya." (HR Ahmad)

Saudaraku, Islam sangat menaruh perhatian terhadap waktu. Dalam Alquran, bertebaran ayat-ayat yang berhubungan dengan waktu. Bahkan, berkali-kali Allah SWT bersumpah atas nama waktu. Misalnya di awal QS Al-Ashr [103], Al-Lail [92], Adh-Dhuha [93], dsb. Hal ini menandakan betapa pentingnya waktu dalam kehidupan manusia. Maka tak usah heran bila Islam mengingatkan kita akan waktu minimal lima kali sehari semalam. Belum lagi anjuran untuk menghidupkan waktu disepertiga malam terakhir, waktu dhuha (saat matahari sepenggalahan).

Mengingat pentingnya waktu, maka kita layak bertanya, sejauh mana komitmen kita terhadap waktu? Bila kita termasuk orang yang meremehkan waktu, tidak kecewa saat pertambahan waktu tidak menghasilkan peningkatan kualitas diri, maka bersiap-siaplah menjadi pecundang dalam hidup.

Kita ini telah, sedang, dan akan selalu berpacu dengan waktu. Satu desah nafas sebanding dengan satu langkah menuju maut. Alangkah ruginya manakala banyaknya keinginan, melambungnya angan-angan, serta meluapnya harapan tidak diimbangi dengan meningkatnya kualitas diri. Maka, siapapun yang bersungguh-sungguh mengisi waktunya dengan kebaikan, niscaya Allah akan memberikan yang terbaik bagi orang tersebut.

Kunci efektivitas waktu

Efektivitas penggunaan waktu sangat dipengaruhi keterampilan kita dalam membaginya. Ada hak belajar, hak bekerja, hak tubuh, hak keluarga, hak ibadah juga hak evaluasi diri. Semuanya harus dibagi secara adil. Sibuk dan hebatnya belajar tanpa disertai istirahat dan ibadah misalnya, hanya akan mendatangkan masalah.

Mahasiswa yang akan mengikuti ujian misalnya. Waktunya tinggal tiga bulan lagi. Maka menjadi keharusan baginya untuk membuat perencanaan. Sehari belajar berapa jam? Katakanlah belajar 2 jam. Seminggu mau berapa kali belajar? Enam kali. Berarti 12 jam perminggu atau 48 jam perbulan. Jadi, dalam tiga bulan ia harus belajar minimal 144 jam. Lalu, mata kuliahnya ada 10. Satu mata kuliah rata-rata lima bab dan satu bab sepuluh halaman, berarti 50 X 10 = 500 halaman. Sedangkan waktu yang dimiliki hanya 144 jam. Dengan demikian, dalam satu jam ia harus menguasai minimal tiga lembar.

Kuncinya, kita harus memetakan dulu potensi dan masalahnya. Lalu bergerak dengan acuan peta tersebut. Setelah itu kita disiplin menjalankannya. Sebab banyak orang yang hanya pandai membuat rencana, tapi kurang pandai menjalankannya. Karena itu, sebuah rencana tidak perlu muluk-muluk. Buatlah secara proporsional dan fleksibel agar kita mudah menjalankannya.

Menunda pekerjaan

Ada satu kebiasaan yang akan menghambat efektivitas dan optimalisasi waktu yang kita miliki, yaitu kebiasaan menunda. Hebatnya, sebagian orang merasa bahwa menunda pekerjaan itu akan lebih baik. Padahal kebiasaan menunda hampir pasti mengundang masalah bila tidak didasarkan pada perhitungan matang.

Dalam setiap waktu ada kewajiban yang harus kita tunaikan. Andaikan kita tunda maka pekerjaan lain pasti akan menyusul, sehingga pekerjaan makin menumpuk. Akhirnya, banyak energi, waktu dan biaya yang terbuang percuma selain berpeluang memunculkan rasa enggan untuk mengerjakannya.

Contohnya ada seorang pelajar yang akan menghadapi ujian. Dalam hati ia berkata, "Saya akan belajar nanti malam saja supaya lebih tenang". Ketika malam datang ia berkata lagi, "Ah nanti saja menjelang hari H saya akan belajar mati-matian". Saat malam hari H tiba muncul lagi alasan, "Agar lebih masuk, saya akan belajar nanti Subuh". Apa yang terjadi? Subuhnya terlambat dan ia pun bangun kesiangan dan telat masuk ruang kelas.

Ada sebuah nasihat dari Imam Hasan Al-Bashri yang layak kita renungkan. "Waspadalah kamu dari menunda pekerjaan, karena kamu berada pada hari ini bukan pada hari esok. Kalaulah esok hari menjadi milikmu, maka jadilah kamu seperti pada hari ini. Kalau esok tidak menjadi milikmu, niscaya kamu tidak akan menyesali apa yang telah berlalu dari harimu". Wallaahu a'lam.

(KH Abdullah Gymnastiar )

Kamis, 18 September 2008

Riwayat 3 Orang Bani Israil

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia pernah mendengar Nabi SAW. bersabda:"Ada 3 orang Bani Israil, masing-masing menderita kusta, botak dan buta yang diuji oleh Allah SWT dengan mengutus malaikat kepada mereka.

Malaikat tersebut menemui penderita kusta (yang berkulit belang) dan bertanya,"Apa yang paling kamu sukai?" Dia menjawab,"Warna yang bagus dan kulit yang mulus, karena orang jijik melihatku." Maka malaikat tersebut mengusapnya sehingga penyakitnya hilang. Dia diberi warna yang bagus dan kulit yang mulus seperti semula. Malaikat itu bertanya lagi,"Apa harta yang paling kamu sukai?" Dia menjawab,"Onta." Maka dia diberi onta yang bunting dan malaikat tersebut berkata,"Semoga engkau diberkahi dengan onta ini."

Berikutnya malaikat itu menemui orang yang berkepala botak dan bertanya,"Apa yang paling kamu sukai?". Dia menjawab,"Rambut yang bagus dan hilangnya botakku ini, karena orang-orang jijik melihatku." Maka malaikat tersebut mengusapnya sehingga botaknya hilang. Dia diberi rambut. Malaikat bertanya lagi,"Apa harta yang paling kamu sukai?". Dia menjawab,"Sapi." Maka malaikat memberinya seekor sapi bunting dan berkata,"Semoga engkau diberkahi dengan sapi ini."

Berikutnya malaikat tersebut menemui orang yang buta dan bertanya,"Apa yang paling kamu sukai?". Dia menjawab,"Allah mengembalikan penglihatanku lagi, sehingga aku bisa melihat orang lain". Maka malaikat mengusapnya dan Allah mengembalikan penglihatannya. Malaikat bertanya lagi,"Apa harta yang paling kamu sukai?". Dia menjawab,"Kambing". Maka malaikat memberinya seekor kambing yang hampir beranak.

Kemudian onta, sapi dan kambing tersebut beranak dan berkembang biak sehingga jumlahnya memenuhi lembah. Malaikat kemudian mendatangi penderita kusta yang telah sembuh dengan menyamar sebagai penderita kusta. Malaikat itu mengatakan,"Saya seorang miskin. Saya berjalan cukup jauh dengan naik turun gunung. Sekarang saya tidak memiliki tumpuan harapan kecuali kepada Allah, kemudian kepadamu. Dengan nama Allah yang telah memberimu warna dan kulit yang bagus serta harta, saya minta kepadamu seekor onta untuk bekal perjalanan saya". Penderita kusta yang telah disembuhkan itu menjawab,"Kewajibanku sangat banyak (saya tidak mengabulkan permintaanmu)". Malaikat itu mengatakan,"Sepertinya saya mengenalmu, bukankah kamu dulu menderita kusta yang dipandang jijik oleh orang lain serta menjadi orang miskin, kemudian Allah memberimu anugerah seperti sekarang ini?". Dia mengatakan,"Aku mewarisi harta ini dari nenek moyangku." Malaikat berkata,"Jika kamu berdusta, Allah akan mengembalikanmu seperti semula."

Berikutnya malaikat mendatangi penderita botak yang telah sembuh dengan menyamar sebagai orang botak dan berkata sebagaimana yang dikatakan kepada penderita kusta. Penderita botak yang telah disembuhkan itu pun menolak permintaan malaikat sebagaimana penolakan bekas penderita kusta. Kemudian malaikat mengatakan,"Jika kamu berdusta, maka Allah akan mengembalikanmu seperti semula."

Kemudian malaikat tersebut mendatangi si buta yang telah disembuhkan dengan menyamar sebagai orang buta. Malaikat berkata,"Saya seorang miskin. Saya menempuh perjalanan cukup jauh dengan naik turun gunung. sekarang tumpuan harapan saya tiada lagi kecuali kepada Allah, kemudian kepadamu. Demi nama Allah yang telah mengembalikan penglihatanmu, saya minta seekor kambing kepadamu untuk bekal perjalanan saya."Si buta yang telah disembuhkan tersebut menjawab,"Dulu saya buta, kemudian Allah mengembalikan penglihatan saya dan dulu saya miskin, kemudian Allah memberi saya kekayaan. Silahkan ambil sesukamu. Demi Allah, saya tidak merasa berat sedikitpun atas harta saya yang kau ambil karena Allah." Kemudian malaikat berkata,"Tidak usah kau berikan hartamu, karena semua ini hanyalah ujian. Allah benar-benar meridhoimu dan memurkai dua orang temanmu."

Subhanallah, akhirnya si bekas penderita kusta dan si bekas penderita botak atas kuasa Allah SWT dikembalikan seperti semula yaitu menderita penyakit kusta dan menderita penyakit botak serta dalam keadaan miskin. Sedangkan, si bekas penderita buta dapat hidup bahagia dengan seluruh hartanya yang selalu digunakan di jalan Allah sebagi wujud rasa syukurnya atas segala nikmat yang telah diberikan Allah SWT.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini.


Sumber: Imam Az-Zabidi. "Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari". Penerbit Pustaka Amani Jakarta.